Laman

Laman

Kamis, 26 Januari 2017

Suto Pranto, Pencipta Lagu Dandut Asal Minangkabau Bagian IV



Suto Pranto
Pencipta Lagu Dangdut
Asal Minangkabau


Bagian IV:
BERPURA-PURA JADI PENUNGGU PASIEN RUMAH SAKIT.

Kota Bandung tak nyaman lagi bagi Suto Pranto untuk meneruskan karirnya sebagai seorang Pencipta Lagu. Hal itu dipicu oleh perkelahian Suto dengan tukang palak yang selalu mengganggu setiap kali ia ngamen di jalanan.



Dengan berbagai pertimbangan dan saran teman-teman, akhirnya tahun 1999 Suto Pranto memutuskan untuk Hijrah ke kota Jakarta.

"Hidup kita harus berubah ke arah yang lebih baik, apabila itu tidak terjadi, berarti ada yang salah dalam hidup kita" begitu ungkap Suto Pranto bercerita tahapan kehidupan yang ia lalui.

Kini perubahan yang harus ia lakukan adalah, membuat karya-karya cipta lagunya dikenal oleh masyarakat luas.

Karya-karya cipta lagu yang telah ia kumpulkan sekian tahun lamanya, tidak cukup hanya tersimpan dalam file-file pribadi saja, akan tetapi hàrus diwujudkan dalam bentuk rekaman yang memadai, dipublikasikan melalui kepingan Compact Disc (CD) dan lain-lain, agar dapat diakui serta dinikmati oleh masyarakat luas.

Sebelum hijrah ke kota Jakarta, ia sudah mencipta lebih kurang seratus dua puluh lagu ber-aliran POP. Suatu aliran yang berbeda dengan aliran Dangdut yang ia tekuni sampai saat ini. Walaupun demikian, lagu-lagu ciptaannya itu merupakan modal besar baginya, untuk bisa menorehkan sejarah dalam daftar pencipta lagu dangdut Indonesia.

Namun persoalannya sekarang, kemana dan pada siapa karya-karya ciptaannya itu harus dibawa, karena selama ini Suto belum pernah kenal dengan seorang produser lagu. Maka untuk itu muncul keinginannya untuk hijrah ke kota Jakarta. Dengan harapan suatu saat ia bisa bertemu dengan seorang Produser lagu yang dapat memproduksi semua lagu-lagu ciptaannya.

Mengawali pèrjalanannya ke kota Jakarta, Suto harus berangkat sendiri meninggalkan anak, istri tercintanya selama lebih kurang enam bulan lamanya, karena uang yang ia miliki saat itu sangat terbatas.

Selama kurun waktu itu, Suto bekerja mencari nafkah dalam kesendirian tanpa lelah. Kemudian satu bulan sekali harus bolak balik antara Bandung dan Jakarta, agar bisa selalu berjumpa dengan keluarga tercintanya.

Memulai hidup di Jakarta, Suto tetap mencari nafkah jadi seorang pengamen jalanan atau dari bis kota ke bis kota lainnya. Hal yang biasa ia lakukan sebelumnya ketika ia masih tinggal di kota Bandung. Suto bilang "seni adalah dunia saya, dan saya akan berjuang dan menghidupi hidup saya melalui Jalur seni".

"Jadi seorang pengamen jalanan butuh perjuangan dan kerja keras. Segala sesuatu yang berhubungan dengan biaya hidup, harus super hemat", kata Suto melanjutkan ceritanya sambil meneguk secangkir kopi yang sebelumnya sudah ia seduh sendiri.

Bercerita tentang perjalanan hidup Suto Pranto seperti tidak pernah habisnya. Ketika semua cerita ia uraikan, kita seperti larut dalam problema kehidupan yang sangat kompleks, baik buruk, menyeret kita kepada persoalan rasa kemanusiaan yang dalam. Mengajak kita untuk merenung akan apa dan untuk siapa kita melakukan segala sesuatu dalam hidup ini.

Memasuki bulan pertama sebelum Suto punya biaya untuk tempat tinggal, kreatifitas Suto diuji sebagai seniman jalanan, untuk mengatasi semua itu.

Suto Pranto yang sudah terbiasa dengan kehidupan jalanan tidak pernah kehabisan akal. Ketika waktu larut malam tiba dan harus beristirahat merebahkan tubuhnya yang lelah akibat seharian mencari nafkah di jalanan, Suto bersiap dengan selembar koran bekas sekedar untuk alas tidurnya.

Hampir tiap malam Suto berfikir, dimana tempat yang harus ia tumpangi untuk menghabiskan waktu istirahat malamnya.

Pelataran Rumah Sakit adalah salah satu pilihannya. Suto terpaksa berpura-pura sebagai penunggu pasien, agar diperbolehkan tidur di areal Pelataran Rumah Sakit. Waktu itu yang jadi pilihannya adalah Rumah Sakit Cipto.
Terkadang di hari  yang berbeda Suto harus menginap di Mushola.

Mushola Perwakilan Pemda Sumatera Barat di daerah Matraman, jadi bukti bisu ketika Suto berjuang melewati malamnya. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama, karena penjaga keamanan kantor Pemda Sumatera Barat tidak mengizinkannya.

Hari berganti, hitungan bulanpun terpenuhi. Enam bulan sudah berjalan tanpa terasa, perjuangan Suto dalam upaya mengumpulkan uang dari hasil kerjanya sebagai seorang Pengamen jalanan, mulai ia rasakan. Suto bisa menyewa tempat tinggal yang tidak terlalu besar di daerah Cipinang Jakarta Timur. Kondisi itu, merupakan bukti dari usaha dan pengorbanan Suto untuk menggapai mimpinya, begitu sangat serius.

Dengan hasil yang telah ia dapatkan makin hari makin membaik, maka Suto mulai berfikir untuk memboyong anak dan istri tercintanya ke kota Jakarta.

Bersambung...

Penulis : Benny Krisnawardi.























Tidak ada komentar:

Posting Komentar