Talago Buni
Talago Buni merupakan kelompok
musik yang didirikan tahun 1998, digagas untuk memformulasikan ”musik baru”
berbasis Budaya musik Minangkabau. Tampil di Festival Musik Gedung Kesenian
Jakarta 10/12/2014.
Gagasan ini merupakan respon kreatif terhadap
situasi cultural masyarakat Mingakabau, yang sedang mengalami proses perubahan
yang cukup mendasar.
Musik tradisi Minangkabau mulai ditinggalkan masyarakat pendukungnya, yang membuat musik Minangkabau itu sendiri sulit untuk ber-ekspresi, karena waktu dan tempat yang mulai terbatas untuk kehadirannya.
Musik tradisi Minangkabau mulai ditinggalkan masyarakat pendukungnya, yang membuat musik Minangkabau itu sendiri sulit untuk ber-ekspresi, karena waktu dan tempat yang mulai terbatas untuk kehadirannya.
Melihat fenomena itu Talago Buni
yang dimotori oleh para praktisi dan akademisi musik Minangkabau, bangkit, bekerja
dan berkreasi bersama, membangun kekuatan, untuk melanjutkan warisan musik Minangkabau, dengan suguhan yang baru
serta kemasan kekinian tanpa menghilangkan roh Minangkabau sebagai identitas cultural ke daerahannya.
Malam itu suasana hening dan gelapnya cahaya lampu, penanda pertunjukan Kelompok Talago Buni dimulai. Suasana itu di
pecah oleh bunyi tiupan mendayu musik saluang oleh M.halim, yang duduk bersila
bersebelahan dan berhadapan dengan pemusik lainnya.
Nada saluang khas Minangkabau itu langsung membawa imaji kita akan “indah” Ranah Minang, yang menyatu dalam satu kerinduan alam bawah sadar kita tentang budaya materilinial.
Nada saluang khas Minangkabau itu langsung membawa imaji kita akan “indah” Ranah Minang, yang menyatu dalam satu kerinduan alam bawah sadar kita tentang budaya materilinial.
Alat musik saluang merupakan
salah satu alat musik yang digunakan oleh kelompok Talago Buni diantara alat-alat
musik tradisional Minangkabau lainnya
Delapan karya repertoar musik
yang ditampilkan malam itu, memiliki ciri khas yang berbeda satu sama
lain, yang dapat mewakili beragam musik yang ada di Minangkabau.
Repertoar karya musik yang ditampilkan adalah Bakutiko, Galuik Sijobang, Galuik Sampelong, Darak Piaman, Pupuik Lambok, Galuik Sirompak, Runguih Pauh, dan Kudarang.
Repertoar karya musik yang ditampilkan adalah Bakutiko, Galuik Sijobang, Galuik Sampelong, Darak Piaman, Pupuik Lambok, Galuik Sirompak, Runguih Pauh, dan Kudarang.
Karya-karya tersebut menurut Edy Utama selaku pimpinan kelompok Talago
Buni, “merupakan hasil dari suatu penjelajahan dan pengalaman Kelompok
musik Talago Buni selama 15 tahun, di dunia tradisi atau musik tradisi Minangkabau, dengan berpegang kepada prinsip, bahwa Talago Buni harus mencipta sesuatu yang baru, dan kemudian bagaimana membuat revitalisasi atau mengkreasikan tradisi tanpa menghilangkan identitas”.
Ungkap beliau.
Ketika banyak anak muda Indonesia lebih menyenangi musik-musik impor ketimbang musik budaya sendiri, kelompok musik Talago Buni menunjukkan eksistensi, kecintaan, dan kebanggaan mereka akan musik tradisi bangsa sendiri.
Ketika banyak anak muda Indonesia lebih menyenangi musik-musik impor ketimbang musik budaya sendiri, kelompok musik Talago Buni menunjukkan eksistensi, kecintaan, dan kebanggaan mereka akan musik tradisi bangsa sendiri.
Berpijak dari pertunjukan
Kelompok musik Talago Buni malam itu, ada beberapa hal yang patut kita cermati
baik secara tataan panggung, lighting, dan penempatan posisi pemain perempuan serta
pemain laki-laki.
Secara konsep ide, Kelompok Talago
Buni sangat mempertimbangkan unsur-unsur dialektik maupun estetika untuk elemen-elemen yang mereka suguhkan di atas
panggung.
Semua menyiratkan bahasa simbol yang sarat dengan pesan-pesan akan budaya tradisi Minangkabau.
Semua menyiratkan bahasa simbol yang sarat dengan pesan-pesan akan budaya tradisi Minangkabau.
Tataan panggung terlihat sederhana akan tetapi menyiratkan berbagai makna. Sekat-sekat yang dihadirkan sebagai latar belakang di atas panggung dengan garis-garis merah, kuning, hitam, yang biasa di sebut oleh orang Minangkabau “marawa”, memberi kesan dialog yang sangat menonjol pada penonton.
Kehadiran tiga level dengan ketinggian yang berbeda satu sama lain, dimana level yang tertinggi ditempati oleh seorang perempuan dengan mengenakan pakain tradisi Minangkabau, memberi kesan kepada kita bahwa, perempuan Minangkabau selalu di tempat yang istimewa atau ditinggikan.
Menonton Kelompok Musik Talago
Buni, dalam fikiran saya timbul dua pertanyaan, “saya sedang mendengarkan
Musik, atau sedang menonton pertunjukan musik”. Dua hal yang membuat saya
harus mencari jawabannya sepanjang pertunjukan berlangsung. Akan tetapi saya
yakinkan diri saya bahwa saya tidak boleh terlalu egois dengan apa yang saya
inginkan, agar saya dapat memaknai semua dengan apa yang saya
lihat(perceptible).
Apa yang dirasakan oleh panca indra penikmat mengenai musik yang disuguhkan pada setiap
komposisi malam itu, saya berkesimpulan
bahwa tafsir-tafsir individu melalui alat musik, dinamika, serta staging dapat
terlihat, dengan complexity serta Intensity pemain, yang pada akhirnya mengaitkan kita kepada bahasa tutur
Minangkabau yang sarat dengan “Himbauan”. Hal tersebut tentu akan lebih ekspresif
lagi apabila struktur pertunjukan mengacu kepada dinamika dari setiap karya dikembangkan lagi.
Pertunjukan Talago Buni ditutup
dengan karya "Kudarang" dengan menghadirkan dua orang penari piring, masing-masing
laki-laki dan perempuan.
Pada karya "Kudarang" Talago Buni seperti memberi suatu kejutan baru, dengan menghadirkan perempuan tanpa mengenakan tutup kepala dan berambut pendek. Padahal sebelumnya mengenakan pakaian tradisi Minangkabau.
Apabila dihubungkan dengan sebuah pemikiran bahwa tradisi itu sudah mulai ditinggalkan, hal yang disuguhkan oleh Talago Buni tersebut dapat menyampaikan pesan yang dimaksud. Akan tetapi secara visual adegan tersebut tidak menjadi sebuah “peristiwa”, akhirnya tampak adegan itu menjadi boomerang terhadap pemikiran Kelompok Talago Buni seperti yang dimaksudkan di atas.
Pada karya "Kudarang" Talago Buni seperti memberi suatu kejutan baru, dengan menghadirkan perempuan tanpa mengenakan tutup kepala dan berambut pendek. Padahal sebelumnya mengenakan pakaian tradisi Minangkabau.
Apabila dihubungkan dengan sebuah pemikiran bahwa tradisi itu sudah mulai ditinggalkan, hal yang disuguhkan oleh Talago Buni tersebut dapat menyampaikan pesan yang dimaksud. Akan tetapi secara visual adegan tersebut tidak menjadi sebuah “peristiwa”, akhirnya tampak adegan itu menjadi boomerang terhadap pemikiran Kelompok Talago Buni seperti yang dimaksudkan di atas.
Sukses buat Talago Buni. Semoga cacatan dari setiap pertunjukan yang telah
dilalui dan akan dilalui, dapat ter-akumulasi menjadi sesuatu yang lebih baik. Sehingga karya musik tradisi Kontemporer yang dihadirkan semakin menambah kebanggaan masyarakat Minangkabau khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Amiin….Sukses Talago Buni
Amiin….Sukses Talago Buni
Salam,
Benny Krisnawardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar