Sabtu, 21 Februari 2015

Manari Art Centre - Talago Buni Kegelisahan anak muda akan musik Tradisi


Talago Buni
 Kegelisahan anak muda akan musik Tradisi



Talago Buni merupakan kelompok musik yang didirikan tahun 1998, digagas untuk memformulasikan ”musik baru” berbasis Budaya musik Minangkabau. Tampil di Festival Musik Gedung Kesenian Jakarta 10/12/2014.
Gagasan ini merupakan respon kreatif terhadap situasi cultural masyarakat Mingakabau, yang sedang mengalami proses perubahan yang cukup mendasar.

Musik tradisi Minangkabau mulai ditinggalkan masyarakat pendukungnya, yang membuat musik Minangkabau  itu sendiri sulit untuk ber-ekspresi, karena waktu dan tempat yang  mulai terbatas untuk kehadirannya.

Melihat fenomena itu Talago Buni yang dimotori oleh para praktisi dan akademisi musik Minangkabau, bangkit, bekerja dan berkreasi bersama, membangun kekuatan, untuk melanjutkan warisan  musik Minangkabau, dengan suguhan yang baru serta kemasan kekinian tanpa menghilangkan roh Minangkabau sebagai identitas cultural ke daerahannya.

Malam itu suasana hening dan gelapnya cahaya lampu, penanda pertunjukan Kelompok Talago Buni dimulai. Suasana itu di pecah oleh bunyi tiupan mendayu musik saluang oleh M.halim, yang duduk bersila bersebelahan dan berhadapan dengan pemusik lainnya.

Nada saluang khas Minangkabau itu langsung membawa imaji kita akan “indah” Ranah Minang, yang menyatu dalam satu kerinduan alam bawah sadar kita  tentang budaya materilinial.

Alat musik saluang merupakan salah satu alat musik yang digunakan oleh kelompok Talago Buni diantara alat-alat musik tradisional Minangkabau lainnya

Delapan karya repertoar musik yang ditampilkan malam itu, memiliki ciri khas yang berbeda satu sama lain, yang dapat mewakili beragam musik yang ada di Minangkabau.

Repertoar karya musik yang ditampilkan adalah Bakutiko, Galuik Sijobang, Galuik Sampelong, Darak Piaman, Pupuik Lambok, Galuik Sirompak, Runguih Pauh, dan Kudarang.

Karya-karya tersebut menurut  Edy Utama selaku pimpinan kelompok Talago Buni, “merupakan hasil dari suatu penjelajahan dan pengalaman  Kelompok musik Talago Buni selama 15 tahun, di dunia tradisi atau musik tradisi Minangkabau, dengan berpegang kepada prinsip, bahwa Talago Buni harus mencipta sesuatu yang baru, dan kemudian bagaimana membuat revitalisasi atau mengkreasikan tradisi tanpa menghilangkan identitas”. Ungkap beliau.

Ketika banyak anak muda  Indonesia lebih menyenangi musik-musik impor ketimbang musik budaya sendiri, kelompok musik Talago Buni menunjukkan eksistensi, kecintaan, dan kebanggaan mereka akan musik tradisi bangsa sendiri. 

Berpijak dari pertunjukan Kelompok musik Talago Buni malam itu, ada beberapa hal yang patut kita cermati baik secara tataan panggung, lighting, dan  penempatan posisi pemain perempuan serta pemain laki-laki.

Secara konsep ide, Kelompok Talago Buni sangat mempertimbangkan unsur-unsur  dialektik maupun estetika untuk  elemen-elemen yang mereka suguhkan di atas panggung.

Semua menyiratkan bahasa simbol yang sarat dengan pesan-pesan akan budaya tradisi Minangkabau.

Tataan panggung  terlihat sederhana akan tetapi menyiratkan berbagai makna. Sekat-sekat yang dihadirkan sebagai latar belakang di atas panggung dengan garis-garis merah, kuning, hitam, yang biasa  di sebut oleh orang Minangkabau “marawa”, memberi kesan dialog yang sangat menonjol pada penonton.

Kehadiran tiga level dengan ketinggian yang berbeda satu sama lain, dimana level yang tertinggi ditempati oleh seorang perempuan dengan mengenakan pakain tradisi Minangkabau, memberi kesan  kepada kita bahwa, perempuan Minangkabau selalu di tempat yang istimewa atau ditinggikan.

Menonton Kelompok Musik Talago Buni, dalam fikiran saya timbul dua pertanyaan, “saya sedang mendengarkan Musik, atau sedang menonton pertunjukan musik”. Dua hal yang membuat saya harus mencari jawabannya sepanjang pertunjukan berlangsung. Akan tetapi saya yakinkan diri saya bahwa saya tidak boleh terlalu egois dengan apa yang saya inginkan, agar saya dapat memaknai semua dengan apa yang saya lihat(perceptible).

Apa yang dirasakan oleh  panca indra penikmat  mengenai musik yang disuguhkan pada setiap komposisi malam itu,  saya berkesimpulan bahwa tafsir-tafsir individu melalui alat musik, dinamika, serta staging dapat terlihat, dengan complexity serta Intensity pemain, yang pada akhirnya  mengaitkan kita kepada bahasa tutur Minangkabau yang sarat dengan “Himbauan”. Hal tersebut tentu akan lebih ekspresif lagi  apabila struktur pertunjukan  mengacu kepada dinamika dari setiap karya  dikembangkan lagi.

Pertunjukan Talago Buni ditutup dengan karya "Kudarang" dengan menghadirkan dua orang penari piring, masing-masing laki-laki dan perempuan.

Pada karya "Kudarang" Talago Buni seperti memberi suatu kejutan baru, dengan menghadirkan perempuan tanpa mengenakan tutup kepala dan berambut pendek. Padahal sebelumnya mengenakan pakaian tradisi Minangkabau.

Apabila  dihubungkan dengan sebuah pemikiran bahwa tradisi itu sudah mulai ditinggalkan, hal yang disuguhkan oleh Talago Buni tersebut dapat menyampaikan pesan yang dimaksud. Akan tetapi secara visual adegan tersebut tidak menjadi sebuah “peristiwa”, akhirnya tampak adegan itu   menjadi  boomerang  terhadap pemikiran Kelompok Talago Buni seperti yang dimaksudkan di atas.

Sukses buat Talago Buni. Semoga cacatan dari setiap pertunjukan yang telah dilalui dan akan dilalui, dapat ter-akumulasi menjadi sesuatu yang lebih baik. Sehingga karya musik tradisi Kontemporer yang dihadirkan semakin menambah kebanggaan masyarakat Minangkabau khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Amiin….Sukses Talago Buni

Salam,

Benny Krisnawardi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar